sejarah pemikiran al maqrizi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Dewasa ini kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif suatu negara-bangsa. Keunggulan suatu Negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat materialistic. Oleh karena itu, ilmu ekonomi menjadi amat penting bagi kehidupan suatu bangsa[1].
            Pemikiran ekonomi Islam adalah respon para pemikir Muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut di ilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran, sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi.
            Periode kedua dimulai pada abad ke-11 sampai dengan ke-15 Masehi. Periode kedua dikenal sebagai periode yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Realitas politik ditandai oleh dua hal, yakni:
Disintegrasi pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan daripada kehendak rakyat. Merebaknya korupsi dikalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin.[2]
Selain itu pemikiran ekonomi pada masa Periode kedua (450-850 H/1058-1446 M) ini banyak dilatarbelakangi oleh berbagai masalah, secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, salah satu diantaranya pemikiran Al-Maqrizi.
Dalam penulisan makalah ini, penulis tertarik membahas mengenai Riwayat Hidup Al-Maqrizi, Karya-karya yang dihasilkan Al-Maqrizi dan pemikiran-pemikiran cemerlangnya mengenai Ekonomi. 

B. Rumusan Masalah
1. Riwayat Hidup Al-Magrizi
2. Karya-karya Al-Magrizi
3. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Riwayat Hidup Al-Maqrizi
2. Mengetahui Karya-karya Al-Magrizi
3. Mengetahui Pemikiran Ekonomi Al- Magrizi


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Al-Maqrizi
Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Abdul Qadir Al-Husaini lahir di Barjuwan, Kairo pada 766 H. Keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak. Karena itu, ia lebih banyak dikenal dengan sebutan Al-Maqrizi.
Kondisi ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa kecil dan remaja Al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu, Hanafi ibn Sa’igh, seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun 786 H (1384 M), Al-Maqrizi beralih ke mazhab Syafi’I, bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia terlihat cenderung menganut mazhab Dzahiri[3].
Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia gemar melakukan ruhlah ilmiah. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti fiqih, hadis, dan sejarah dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di antara tokoh terkenal yang sangat memengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun, seorang besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi[4]. Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai ketika Abu Al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung (Qadi Al-Qudah) mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Barquq (786-801 H)[5].
Ketika berusia 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan dinasti Mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M), Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya, semacam secretariat negara. Kemudian, ia diangkat menjadi wakil qadi pada kantor hakim aqung mazhab Syafi’I, sebagai khatib di Masjid Jami’ ‘Amr dan Madrasah Al-Sultan Hasan, Imam Masjid Jami Al-Hakim, dan guru hadis di Madrasah Al-Muayyadah[6].
Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Jabatan tersebut diembannya selama dua tahun. Pada masa ini, Al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permaslahan pasar, perdagangan dan mudharabah, sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal usul uang, dan kaidah-kaidah timbangan[7].
Pada tahun 811 H (1408 M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administratif wakaf di Qalaniyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus. Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadis di Madrasah Asyrafiyyah dan Madrasah Iqbaliyyah. Kemudian, Sultan Al-Malik Al-Nashir Faraj bin Barquq (1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil pemerintah Dinasti Mamluk di Damaskus. Namun, tawaran ini ditolak Al-Maqrizi[8].
Sekitar 10 tahun menetap di Damakus, Al-Maqrizi kembali ke kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah dan menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadis dan menulis sejarah.
Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya, Barjuwan, Kairo. Di sini, ia juga aktif mengajar dan menulis, terutama sejarah Islam, hingga terkenal sebagai seorang sejarawan besar pada abad ke-9 H. Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada atanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan tanggal 9 Februari 1442 M[9].

B.     Karya-karya Al-Maqrizi
Semasa hidupnya, Al-Maqrizi sangat produktif menulis berbagai bidang ilmu, terutama sejarah Islam, baik berbentuk buku kecil maupun besar. Buku-buku kecilnya memiliki urgensi yang khas serta menguraikan berbagai macam ilmu yang tidak terbatas pada tulisan sejarah. Al-Syayyal mengelompokkan buku-buku kecil tersebut menjadi empat kategori.
Pertama, buku yang membahas beberapa peristiwa sejarah Islam umum, seperti kitab Al-Niza’ wa Al-Takhashum fi ma baina Bani Umayyah wa Bani Hasyim.
Kedua, buku yang berisi ringkasan sejarah beberapa penjuru Dunia Islam yang belum terbahas oleh sejarawan lainnya, seperti kitab Al-Ilman bi Akhbar Man bi Ardh Al-Habasyah min Muluk Al-Islam.
Ketiga, buku yang menguraikan biografi singkat para raja, seperti kitab Tarajim Muluk Al-Gharb dan kitab Al-Dhahab Al-Masbuk di Dzikr Man Hajja min Al-Khulafa wa Al-Muluk.
Keempat, buku yang mempelajari beberapa aspek ilmu murni atau sejarah beberapa aspek sosial dan ekonomi di Dunia Islam pada umumnya, dan di Mesir pada khususnya, seperti kitab Syudzur Al-‘Uqud fi Dzikr Al-Nuqud, kitab Al-Akyaln wa Al-Auzan Al-Syar’iyyah, kitab Risalah fi Al-Nuqud Islamiyyah dan kitab Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah[10].
Sedangkan terhadap karya-karya Al-Maqrizi yang berbentuk buku besar, Al-Syayyal membagi menjadi tiga kategori. Pertama, buku yang membahas tentang sejarah dunia, seperti kitab Al-Khabar’an Al-Basyr. Kedua, buku yang menjelaskan sejarah Islam umum, seperti kitab Al-Durar Al-Mudhi’ah fi Tarikh Al-Daulah Al-Islamiyyah. Ketiga, buku yang menguraikan sejarah Mesir pada masa Islam, seperti kitab Al-Mawa’izh wa Al-I’tibar bi Dzikr Al-Khitath wa Al-Atsar, kitab Itti’azh Al-Hunafa bi Dzikr Al-Aimmah Al-Fathimiyyin Al-Khulafa, dan kitab Al-Suluk li Ma’rifah Duwal Al-Muluk[11].

C.    Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi
Al-Maqrizi berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, sebuah fase yang mulia terlihat tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam Dunia Islam.  Latar belakang kehidupan Al-Maqrizi uang bukan seorang sufi atau filsuf dan relative didominasi oleh aktifitasnya sebagai sejarawan Muslim sangat memengaruhi corak pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa melihat setiap persoalan dengan flash back dan mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu negara dengan memfokuskan perhatiannya pada bebrapa hal yang memengaruhi naik turunnya suatu pemerintahan.
Dalam hal itu, Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Fokus perhatian Al-Maqrizi terhadap dua aspek yang di masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafa Al-Rasyidun tidak menimbulkan masalah ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai Islam, terutama dalam kedua aspek tersebut, yang dilakukan oleh para kepala pemerintahan Bani Umayyah dan selanjutnya[12].
Pada masa hidupnya, Al-Maqrizi dikenal sebagai seorang pengeritik keras kebijakan-kebijakan moneter tang diterapkan pemerintahan Bani Mamluk Burji yang dianggapnya sebagai sumber malapetaka yang menghancurkan perekonomian negara dan masyarakat Mesir. Perilaku para penguasa Mamluk Burji yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan moral telah mengakibatkan krisis ekonomi yang sangat parah yang didominasi oleh kecendrungan inflasioner yang semakin diperburuk dengan merebaknya wabah penyakit menular yang melanda Mesir beberapa waktu. Situasi tersebut menginspirasi Al-Maqrizi untuk mempresentasikan berbagai pandangannya terhadap sebab-sebab krisis dalam sebuah karyanya, Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah[13].
Dengan berbekal pengalaman yang memadai sebagai seorang muhtasib (pengawas pasar), Al-Maqrizi membahas permasalahan inflasi dan peranan uang di dalamnya, sebuah pembahasan yang menakjubkan di masa itu karena mengkorelasikan dua hal yang sangat jarang dilakukan oleh para pemikir Muslim maupun Barat. Dalam karyanya tersebut, Al-Maqrizi ingin membuktikan bahwa inflasi yang terjadi pada periode 806-808 H adalah berbeda dengan inflasi yang terjadi pada periode-periode sebelumnya sepanjang sejarah Mesir[14].
Dari perspektif objek pembahasan, apabila kita telusuri kembali berbagai literature Islam Klasik, pemikiran terhadap uang merupakan fenomena yang jarang diamati para cendikiawan Muslim, baik para periode klasik maupun pertengahan. Menurut survey Islahi, selain Al-Maqrizi, di antara sedikit pemikir Muslimn yang memiliki perhatian terhadap uang pada masa ini adalah Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, dan Ibnu Khaldun[15]. Dengan demikian, secara kronologis, dapat dikatakan bahwa Al-Maqrizi merupakan cendikiawan Muslim abad pertengahan yang terakhir mengamati permasalahan tersebut, sekaligus mengkorelasikannya dengan peristiwa inflasi yang melanda suatu negeri.

1.      Konsep Uang
      Sebagai seorang sejarawan, Al-Maqrizi mengemukakan beberapa  pemikiran tentang uang melalui penelaahan sejarah mata uang yang digunakan oleh umat manusia. Pemikirannya ini meliputi sejarah dan fungsi uang, implikasi penciptaan mata uang buruk, dan daya beli uang.
a.       Sejarah dan Fungsi Uang
            Bagi Al-Maqrizi, mata uang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia karena, dengan menggunakan uang, manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan validitas premise-nya terhadap permasalahan ini, ia mengungkapkan sejarah penggunaan mata uang oleh umat manusia, sejak masa dahulu kala hingga masa hidupnya yang berada di bawah pemerintahan dinasti Mamluk.
            Menurut Al-Maqrizi, baik pada masa sebelum maupun setelah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan berbagai harga dan biaya tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak[16].
            Dalam sejarah perkembangannya, Al-Maqrizi menguraikan bahwa bangsa Arab jahiliyah menggunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia serta mempunyai bobot dua kali lebih berat di masa Islam. Setelah Islam datang, Rasulullah saw menetapkan berbagai praktik muamalah yang menggunakan kedua mata uang tersebut, bahkan mengaitkannya dengan hukum zakat harta. Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut tanpa perubahan sedikit pun hingga tahun 18 H ketika Khalifah Umar ibn Al-Khattab menambahkan lafaz-lafaz Islam pada kedua mata uang tersebut[17].
            Perubahan yang sangat signifikan terhadap mata uang ini terjadi pada tahun 76 H. Setelah berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, Khalifah Abdul Malik ibn Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham Islam[18]. Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut, tanpa perubahan yang berarti, hingga pemerintahan Al-Mu’tashim, khalifah terakhir dinasti Abbasiyah.
            Dalam pandangan Al-Maqrizi, kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh kaum Mamluk semakin kuat di kalangan istana, termasuk terhadap kebijakan pencetakan mata uang dirham campuran. Pencetakan fulus, mata uang yang terbuat dari tembaga, dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah, Sultan Muhammad Al-Kamil ibn Al-Adil Al-Ayyubi, yang dimaksudkan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap dirham-nya[19].
            Pasca pemerintahan Sultan Al-Kamil, pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hingga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan volume pencetakan fulus dan menetapkan rasio 24 fulus per dirham. Akibatnya, rakyat menderita kerugian besar karena barang-barang yang dahulu berharga setengah dirham sekarang menjadi 1 dirham. Keadaan ini semakin memburuk ketika aktivitas pencetakan fulus meluas pada pemerintahan Sultan Al-Adil Kitbugha dan Sultan Al-Zahir Barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan kelangkaan barang-barang.
            Berbagai fakta sejarah tersebut, menurut Al-Maqrizi, mengindikasi bahwa mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika, maupun tradisi, hanya yang terdiri dari emas dan perak. Oleh karena itu, mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak disebut sebagai mata uang.
            Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dengan kata lain, penggunaan fulus hanya diizinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil.
            Beredarnya fulus yang berlebihan mendapat perhatian khusus dari Al-Maqriz. Dalam pengamatannya, ternyata kenaikan harga-harga inflasi yang terjadi adalah dalam bentuk jumlah fulusnya. Misalnya untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih banyak fulus. Akan tetapi, apabila nilai barang diukur dengar dinar emas, jarang terjadi kenaikan harga untuk itulah Al-Maqrizi menyarankan agar sejumlah fulus dibatasi secukupnya saja, sekedar untuk melayani transaksi pecahan kecil.[20]
      Sementara itu, walaupun menekankan urgensi penggunaan kembali mata uang yang terdiri dari emas dan perak, Al-Maqrizi menyadari bahwa uang bukan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi kenaikan harga-harga. Menurutnya, penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
      Al-Maqrizi menyatakan, ”sesungguhnya uang yang menjadi harga barang-barang dijual dan nilai pekerjaan adalah hanya emas dan perak saja.” Tidak diketahui dalam riwayat yang sahih maupun yang lemah dari umat manapun dan kelompok manusia manapun, bahwa mereka dalam masalalu dan masa kontemporernya selalu menggunakan uang selain keduanya.[21]
      Sebagai seorang sejarawan, Al-Maqrizi menyatakan beberapa pemikiran tentang uang melalui penelaahan sejarah mata uang digunakan oleh manusia. Pemikirannya ini meliputi sejarah dan fungsi, implikasi penciptaan mata uang buruk dan daya beli uang.[22]
b.      Implikasi Penciptaan Mata Uang Buruk
        Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang akan melenyapkankan mata uang yang berkualitas baik. Hal ini terlihat jelas ketika ia menguraikan situasi moneter pada tahun 569 H. Pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi ini, mata uang yang dicetak mempunyai kualitas yang sangat rendah dibandingkan dengan mata uang yang telah ada di peredaran. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, masyarakat akan lebih memilih untuk menyimpan mata uang yang berkualitas baik dan meleburnya menjadi perhiasan serta melepaskan mata uang yang berkualitas buruk ke dalam peredaran. Akibatnya, mata uang lama keluar dari peredaran.
        Menurut Al-Maqrizi, hal tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh pergantian penguasa dan dinasti yang masing-masing menetapkan kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk serta dilai dinar dan dirham. Sebagai contoh, jenis dirham yang telah ada diubah hanya untuk merefleksikan penguasa pada masa itu. Dalam kasus lain, terdapat beberapa perubahan tambahan pada komposis logam yang membentuk dinar dan dirham. Konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan ekonomi ketika persediaan logam bahan mata uang tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah unit mata uang. Begitu pula halnya ketika harga emas atau perak mengalami penurunan[23].
c.       Konsep Daya Beli Uang
        Menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaian terhadap hal ini, sehingga terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam pencetakan uang dengan aktivitas produksi dapat menyebabkan daya beli uang riil mengalami penurunan[24].
        Dalam hal yang demikian, Al-Maqrizi memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan peningkatan laba nominal mereka. Menurutnya, mereka akan menydari hal tersebut ketika membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai macam pengeluarannya. Dengan kata lain, seorang pedagang dapat terlihat memperoleh keuntungan yang lebih besar sebagai seorang produsen. Namun, sebagai seorang konsumen, ia akan menyadari bahwa dirinya tidak memperoleh keuntungan sama sekali[25].

2.      Teori Inflasi
      Dengan mengemukakan berbagai fakta bencana kelaparan yang pernah terjadi di Mesir, Al-Maqrizi menyatakan bahwa peristiwa inflasi merupakan sebuah fenomena alam yang menimpa kehidupan masyarakat di seluruh dunia sejak masa lalu hingga sekarang. Inflasi menurutnya, terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Pada saat ini, persediaan barang dan jasa mengalami kelangkaan dan konsumen karena sangat membutuhkannya, harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sejumlah barang dan jasa yang sama.
      Dalam uraian berikutnya, Al-Maqrizi membahas permasalahan inflasi secara lebih mendetail. Ia mengklasifikasikan inflasi berdasarkan faktor penyebabnya ke dalam dua hal, yaitu inflasi yang disebabkan oleh faktor alamiah dan inflasi yang disebabkan oleh kesalahan manusia.
a.       Inflasi alamiah
      Sesuai dengan namanya, inflasi jenis ini disebakan oleh berbagai faktor alamiah yang tidak bisa dihindari umat manusia. Menurut Al-Maqrizi, ketika suatu bencana alam terjadi, berbagai bahan makanan dan hasil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persediaan barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat drastic dan terjadi kelangkaan. Di lain pihak, karena sifatnya yang sangat signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu mengalami peningkatan. Harga-harga membumbung tinggi jauh melebihi daya beli masyarakat.
      Hal ini sangat berimplikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, transaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan keadaan mereka. Untuk menaggulangi bencana itu, pemerintah mengeluarkan sejumlah besar dana yang mengakibatkan perbendaharaan negara mengalami penurunan drastis karena disisi lain pemerintah tidak memperoleh pemasukan yang berarti. Dengan kata lain pemerintah mengalami deficit anggaran dan negara baik secara politik, ekonomi, maupun sosial menjadi tidak stabil yang kemudian menyebabkan keruntuhan sebuah pemerintahan[26].
            Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sekalipun suatu bencana telah berlalu, kenaikan harga-harga tetap berlangsung. Hal ini merupakan implikasi dari bencana alam sebelumnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi, terutama di sector produksi, mengalami kemacetan. Ketika situasi telah normal, persediaan barang-barang yang signifikan, seperti benih padi, tetap tidak beranjak naik, bahkan tetap langka, sedangkan permintaan terhadapnya meningkat tajam. Akibatnya, harga barang-barang ini mengalami kenaikan yang kemudian diikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja.
b.      Inflasi Karena Kesalahan Manusia
            Selain factor alam, Al-Maqrizi menyatakan bahwa inflasi dapat terjadi karena kesalahan manusia. Ia telah mengidentifikasi tiga hal yang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama menyebabkan yang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama menyebabkan terjadinya inflsi ini. Ketiga hal tersebut adalah korupsi dan administrasi yang buruk, pajak yang berlebihan, dan peningkatan sirkulasi mata uang fulus[27].
1. Korupsi dan Administrasi yang buruk
            Al-Maqrizi menyatakan bahwa pengangkatan para pejabat pemerintah yang berdasarkan pemberian suap, dan bukan kapabilitas, akan menempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kreadibilitas, pada berbagai jabatan penting dan terhormat, baik di kalangan legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Mereka rela menggadaikan seluruh harta miliknya sebagai kompensasi untuk meraih jabatan yang diinginkan serta kubutuhan sehari-hari sebagai pejabat. Akibatnya, ketika mereka menjabat, para pejabat pemerintah berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara.
2. Pajak yang berlebihan
            Menurut Al-Magrizi, akibat dominasi para pejabat bermental korup dalam suatu pemerintahan, pengeluaran Negara mengalami peningkatan sangat drastis. Sebagai Kompensasinya, mereka menerapkan sistem perpajakan yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikkan tingkat pajak yang telah ada. Hal ini sangat memperngaruhi kondisi pra petani yang mayoritas dalam masyarakat. Para pemilik tanah akan melimpahkan beban pajak kepada petani melalui biaya sewa. Frekuensi pajak untuk pemeliharaan bendungan dan pekerjaan-pekerjaan yang serupa juga semakin meningkat. Konsekuensinya, biaya-biaya untuk penggarapan tanah, penaburan benih, pemungutan hasil panen, dan sebagainya meningkat.Akibatnya petani kehilangan motivasi untuk bekerja dan memproduksi.
            Dengan demikian, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan peningkatan lahan tidur yang akan sangat mempengaruhi tingkat hasil produksi pagi serta hasil bumi lainnya dan pada akhirnya menimbulkan kelangkaan bahan makanan serta peningkatan harga-harga.

3. Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus
            Ketika terjadi deficit anggaran sebagai akibat dari perilaku buruk para pejabat yang mengahabiskan uang Negara untuk berbagai kepentingan pribadi dan kelompoknya, pemerintah melakukan percetakan mata uang fulus secara besar-besaran. Menurut Al-Maqrizi, kegiatan tersebut semakin meluas pada saat ambisi pemerintah untuk memperoleh keuntungan yang besar dari percetakan mata uang yang tidak membutuhkan biaya produksi tinggi ini tidak terkendali. Sebagai penguasa, mereka mengeluarkan maklumat yang memaksa rakyat menggunakan mata uang itu. Jumlah fulus yang dimiliki masyarakat semakin besar dan sirkulasinya mengalami peningkatan yang sangat tajam, sehingga fulus menjadi mata uang yang dominan.
            Seiring dengan keuntngan besar yang diperoleh dari pencetakan fulus, pemerintah menghentikan percetakan perak sebagai mata uang. Bahkan sebagai salah satu implikasi gaya hidup para pejabat. Sejumlah dirham yang dimiliki masyarakat dilebur menjadi perhiasan. Sebagai hasilnya, mata uang dirham mengalami kelangkaan dan menghilang dari peredaran meskipun hanya dimiliki oleh segelintir orang.
            Keadaan ini menempatkan fulus sebagai standar nilai bagi sebagian besar barang dan jasa. Kebijakan percetakan fulus secara besar-besaran, menurut Al-magrizi sangat mempengaruhi penurunan nilai mata uang secara drastis. Akibatnya, uang tidak lagi bernilai dan harga-harga membumbung tinggi yang pada gilirannya menimbulkan kelagkaan bahan makanan.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Pemikiran ekonomi Islam adalah respon para pemikir Muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut di ilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran, sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi.
Salah satu pemikir ekonomi islam yang terkenal pada masa Periode kedua (450-850 H/1058-1446 M) adalah Al-Maqrizi. Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia gemar melakukan ruhlah ilmiah. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti fiqih, hadis, dan sejarah dari para ulama besar yang hidup pada masanya.
Di antara tokoh terkenal yang sangat memengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun, seorang besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi. Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai ketika Abu Al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung (Qadi Al-Qudah) mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Barquq (786-801 H).
Semasa hidupnya dia diangkat sebagai pejabat pemerintah dan sering bersentuhan dengan pasar. Walaupun pada akhirnya, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah dan menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadis dan menulis sejarah.Banyak karya-karya yang telah dihasilkannya dan pemikiran-pemikiran cemerlang yang dihasilkan Al-Maqrizi guna menyelesaikan masalah-masalah perekonomian yang ada di zamannya.
Al-Maqrizi berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, sebuah fase yang mulia terlihat tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam Dunia Islam.  Latar belakang kehidupan Al-Maqrizi uang bukan seorang sufi atau filsuf dan relative didominasi oleh aktifitasnya sebagai sejarawan Muslim sangat memengaruhi corak pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa melihat setiap persoalan dengan flash back dan mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu negara dengan memfokuskan perhatiannya pada beberapa hal yang memengaruhi naik turunnya suatu pemerintahan.
Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Fokus perhatian Al-Maqrizi terhadap dua aspek yang di masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafa Al-Rasyidun tidak menimbulkan masalah ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai Islam, terutama dalam kedua aspek tersebut, yang dilakukan oleh para kepala pemerintahan Bani Umayyah dan selanjutnya.
Pada masa hidupnya, Al-Maqrizi dikenal sebagai seorang pengeritik keras kebijakan-kebijakan moneter tang diterapkan pemerintahan Bani Mamluk Burji yang dianggapnya sebagai sumber malapetaka yang menghancurkan perekonomian negara dan masyarakat Mesir.
Perilaku para penguasa Mamluk Burji yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan moral telah mengakibatkan krisis ekonomi yang sangat parah yang didominasi oleh kecendrungan inflasioner yang semakin diperburuk dengan merebaknya wabah penyakit menular yang melanda Mesir beberapa waktu. Situasi tersebut menginspirasi Al-Maqrizi untuk mempresentasikan berbagai pandangannya terhadap sebab-sebab krisis dalam sebuah karyanya, Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah.
Dengan berbekal pengalaman yang memadai sebagai seorang muhtasib (pengawas pasar), Al-Maqrizi membahas permasalahan inflasi dan peranan uang di dalamnya, sebuah pembahasan yang menakjubkan di masa itu karena mengkorelasikan dua hal yang sangat jarang dilakukan oleh para pemikir Muslim maupun Barat.
Dalam karyanya tersebut, Al-Maqrizi ingin membuktikan bahwa inflasi yang terjadi pada periode 806-808 H adalah berbeda dengan inflasi yang terjadi pada periode-periode sebelumnya sepanjang sejarah Mesir.

B. Saran
            Ekonomi Islam telah berkembang melalui sejarah yang panjang dan tak mudah, Ekonomi islam lahir memalui buah pikir tokoh-tokoh cemerlang yang peduli dengan perekonomian. Hendaknya sebagai generasi islam yang memiliki karakter dan akhlaq yang baik sudah sehausnya kita mempelajari dan menerapkan ekonomi islam itu sendiri dan meneladani perjuangan-perjuangan para tokoh ekonom robbani seperti Al-Maqrizi dan tokoh-tokoh pemikir lainnya.
            Di tengah krisis yang sedang melanda Negara ini, ekonomi islam hadir memberikan solusi atas permaslahan yang ada untuk itu sebagai generasi penerus kita harus mendukung dan ikut ambil dalam mengembangkan ekonomi islam khususnya di Indonesia.



Daftar Pustaka

Allouche, Adel, Mamluk Economic: A Study and Translation of Al-Maqrizi’s Ighathah, Salt           Lake City: University of Utah Press, 1994
Al Maqrizi, Al Nuqud Al Qadimah Al-Islamiyah, dalam Al-Abb Al-Insitas Al Karmali (ed),             Kitab al-Nuqud al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah wa ‘Ilm al-Namyat, Kairo: Maktabah      A- Tsaqafah Al-Diniyah, 1986, Cet. Ke-2
Chapra,  M Umar The Future of Economics An Islamic Perspektive, Spain: APIPE Artes   Graficas, 2000
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Suplemen Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru          Van Hoeve, 1999, Jilid 2
Ghazali, Aidit, Islamic Thinkers on Economics, Administration, and Transaction, Kuala     Lumpur: Quill Publisher, 1991
Hendra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Ilman, Abdul Hadi, Uang Suatu Kajian Kontemporer,  Jakarta: Gema Insani. Press, 2001
Islahi, AA, Economic Concept of Ibn Taimiyah, Leicester: The Islamic Foundation,1988
Janidal, Hammd bin Abdurrahman Al, Manahij Al-Bahitsin fi Al-Iqhtisad Al-Islamy, Riyadh:         Syirkah Al-Ubaikan li Al-thaba’ah wa Al-Nasyr, 1406 H, Jilid 2
Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani       Press,2001, Cet. Ke-1.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo             Persada, 2004
Khudhairi, Zainab al, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka,1995
Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam: Sejarah Konsep, Instrumen, Negara, Pasar Edisi      Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Sumar’in, Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Pespektif Islam,      Yogyakarta:Graha Ilmu, 2013
Syayyal, Jamaluddin Al, Pengantar Al-Muhaqqiq, dalam Taqiyuddin Ahmad bin Ali Al-    Magrizi, Itt’azh Al- Hunafa bi Akhbar Al-Aimmah Al-Fathmiyyin Al-Khulafa,      Kairo:Lajnah Ihya Al-Turats Al-Islamy, 1967
           



                [1] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam: Sejarah Konsep, Instrumen, Negara, Pasar Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 6.
[2] Sumar’in, Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Pespektif Islam, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2013), h. 43.
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), Jilid 2, h. 42.
                [4] Hammd bin Abdurrahman Al-Janidal, Manahij Al-Bahitsin fi Al-Iqhtisad Al-Islamy, (Riyadh: Syirkah Al-Ubaikan li Al-thaba’ah wa Al-Nasyr, 1406 H), Jilid 2, h. 208.
[5] Zainab Al-khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, (Bandung: Penerbit Pustaka,1995), h. 16
[6] Jamaluddin Al-Syayyal, Pengantar Al-Muhaqqiq, dalam Taqiyuddin Ahmad bin Ali Al-Magrizi, Itt’azh Al- Hunafa bi Akhbar Al-Aimmah Al-Fathmiyyin Al-Khulafa, (Kairo:Lajnah Ihya Al-Turats Al-Islamy, 1967),  h. 11-12

[7]  Hammd bin Abdurrahman Al-Janidal, loc.cit
[8]  Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, loc.cit
[9]  Ibid
[10]  Jamaluddin Al-Syayyal, op, cit., h. 13-14
                [11]  Ibid, h.18
                [12] Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,2001), Cet. Ke-1. H. 67.
                [13]  Adel Allouche, Mamluk Economic: A Study and Translation of Al-Maqrizi’s Ighathah, (Salt Lake City: University of Utah Press, 1994), h. ix.
                [14]  Ibid., h. 13
            [15]  A.A. Islahi,  Economic Concept of Ibn Taimiyah, (Leicester: The Islamic Foundation,1988),  h 18-19

                [16]  Al Maqrizi, Al Nuqud Al Qadimah Al-Islamiyah, dalam Al-Abb Al-Insitas Al Karmali (ed), Kitab al-Nuqud al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah wa ‘Ilm al-Namyat, (Kairo: Maktabah A- Tsaqafah Al-Diniyah, 1986), Cet. Ke-2, h. 73
                [17] Ibid., h 28-30
                [18] Ibid., h 35
                [19]  Al-Maqrizi, Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah, op.cit., h 68-70
[20]  Sumar’in, Ekonomi Islam: sebuah pendekatan ekonomi mikro perspektif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hal.50
[21] Abdul Hadi Ilman, Uang Suatu Kajian Kontemporer,  (Jakarta: Gema Insani. Press, 2001), h.77
[22] Hendra, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h.227
                [23] Aidit Ghazali, Islamic Thinkers on Economics, Administration, and Transaction, (Kuala Lumpur: Quill Publisher, 1991), Vol. 1, h 159.
                [24]  Ibid
                [25]  Al-Maqrizi, Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al Ghummah, op. cit., h.74.
                [26]  M. Umar Chapra, The Future of Economics An Islamic Perspektive (Spain: APIPE Artes Graficas, 2000), h. 167
                [27]  Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h.392

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pemeliharaan hubungan kerja

Sinopsis Film Inside Job

Makalah Akad-akad dalam Perbankan Syariah