Gadai Syariah (Rahn)


A.      Pengertian Gadai Syariah/Rahn
Rahn secara etimologis, berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus-menerus). Dikatakan ma’rahin artinya air yang diam (tenang). Ni’mah rahinah, artinya nikmat yang terus-menerus/kekal. Ada yang mengatakan bahwa rahn adalah habs (menahan) berdasarkan firman Allah Q.S. Al-Mudatsir: 38 ‘Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya’. Maksudnya, setiap diri itu tertahan. Makna ini lebih dekat dengan makna yang pertama yakni tetap, karena suatu tertahan itu bersifat tetap di tempatnya. Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu dilunasi (dikembalikan), atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.[1]
Rahn adalah pelimpahan kekuasaan oleh suatu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meinta imbalan tertentu dari pemberi amanah.[2]
Rahn adalah kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai. [3]
Menurut Ismail, Ar-Rahn atau rahn merupakan perjanjian penyerahan barang yang digunakan sebagai agunan untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan. Rahn juga diartikan sebagai jaminan terhadap utang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar kepada pemberi utang baik seluruhnya atau sebagian apabila pihak yang berutang tidak mampu melunasinya. [4]
Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan  dari fasilitas pembiayaan yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih.
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, ‘Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya’.
Sedangkan Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu ‘Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu’.[5]
Menurut Ulama Hanabilah, rahn yaitu harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.[6]
Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut ajaran Islam sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau mengambil sebagian manfaat barang itu.
Rahn biasanya diterjemahkan sebagai “gadai”, mempunyai pengertian yang lebih luas daripada gadai berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, yang hanya meliputi barang bergerak. Rahn disini meliputi barang jaminan/agunan berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak, sehingga pengertian rahn sama dengan pengertian gadai dalam hukum adat. Adapun Pasal 1150 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut :
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan.[7]
Menurut Ahmad Azhar Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Menurut Muhammad Syafi'i Antonio, gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam di atas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah; sedangkan pihak lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai lalu ditandai denga mengisi dan menandatangani Surat Bukti Gadai.
Jika memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu'amalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.

B. Dasar Hukum Gadai Syariah/Rahn
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syari’ah adalah ayat-ayat Al Qur’an, Hadits, dan Ijma’  yaitu sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an

Artinya :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah: 283)
Syaikh Muhammad ‘Ali Sayis berpendapat bahwa ayat Al Qur’an di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang.
Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu. Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn.[8] 

2.      Hadits
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
 حَدِيدٍ مِنْ دِرْعًا وَرَهَنَهُ أَجَلٍ إِلَى يَهُودِيٍّ مِنْ طَعَامًا اشْتَرَى وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ أَنَّ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603).
Menurut kesepakatan ahli fikih, peristiwa Rasulullah saw me-rahn-kan baju besinya itu adalah kasus rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah dari Imam Malik. Dalam riwayat Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :“pemilik harta yang diagunkan jangan dilarang memanfaatkan hartanya itu, karena segala hasil barang itu menjadi milik (pemilik)nya dan segala kerugian barang itu menjadi tanggung jawab (pemilik)nya.” (HR. Asy-Syafi’i dan Ad-Daruqutni).
Berdasarkan hadits tersebut, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak kemaslahatan (faedah atau manfaat) yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antara sesama manusia. [9]

3.      Ijma’
Berdasarkan ijma’ bahwa kaum muslimin sepakat diperbolehkan rahn (gadai) secara syariat ketika bepergian (safar) dan ketika di rumah (tidak bepergian) kecuali Mujahid berpendapat rahn (gadai) hanya berlaku ketika bepergian berdasarkan ayat diatas. Akan tetapi, pendapat Mujahid ini dibantah dengan  argumentasi Hadits diatas. [10]

4.      Fatwa-Fatwa DSN-MUI tentang Rahn
Fatwa DSN-MUI mengenai rahn adalah Fatwa DSN-MUI  No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan mengenai Rahn Emas adalah Fatma DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
a.         Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
Fatwa ini memberikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Pertama: Hukum
1.      Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
Kedua: Ketentuan umum
1.      Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan  penyimpan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4.      Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualan Marhun
a.       Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya.
b.      Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c.       Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Ketiga: Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

b.        Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas menentukan hal-hal sebagai berikut :
Pertama :
1.      Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn).
2.      Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3.      Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4.      Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
Kedua :
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.[11]
Pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu :
1.      Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini, pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2.      Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan/atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.[12]
 C. Rukun dan Syarat Rahn
1.      Rukun Ar-Rahn sebagai berikut :
1)      Pihak yang menggadaikan (rahin).
2)      Pihak yang menerima gadai (murtahin).
3)      Obyek yang digadaikan (marhun).
4)      Utang (marhun bih).
5)      Ijab qabul (sighat).[13]

2.      Syarat Rahn
Untuk sahnya akad rahn maka masing-masing pihak dan komponen rahn harus terlebih dahulu memenuhi syarat, diantara syarat-syarat tersebut adalah :
1)      Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut :
Kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang sah untuk melakukan jual beli, ia juga sah untuk melakukan gadai. Karena gadai seperti jual beli, juga merupakan pengelolaan harta.  
2)      Sighat
a.       Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu.
b.      Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad jual-beli. Maka tidak boleh diikiat dengan syarat tertentu.
3.      Marhun bih (utang)
a.       Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
b.      Memungkinkan pemanfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi hutang itu tidak bisa dimanfaatkan maka tidak sah.
c.       Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya bila tidak dapat diukur atau tidak dikuantifikasi, rahn itu tidak sah.
4.      Marhun  (Barang)
Marhun adalah harta/barang yang ditahan murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas utang yang ia berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat-syarat yang berlaku pada barang yang bias diperjual-belikan. Syarat-syarat barang rahn antara lain :
a.       Harus bisa diperjual belikan
b.      Harus berupa harta yang bernilai
c.       Marhun  harus bisa dimanfaatkan secara syariah
d.      Harus diketahui keadaan fisiknya.
e.       Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau penggadai) setidaknya harus seizin pemiliknya. [14]
 D. Macam-macam Rahn
Rahn yang diatur menurut prinsip Syariah dibedakan atas dua macam yaitu:
1.      Rahn Iqar
Rahn iqar, rahn rasmi, rahn takmini, rahn tasjily, merupakan bentuk gadai dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikan. Namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Contohnya Mukti memiliki utang kepada Ratna sebesar Rp. 10.000.000. Sebagai jaminan atas pelunasan utang tersebut, Mukti menyerahkan BPKB mobilnya kepada Ratna secara rahn iqar, namun mobilnya masih digunakan oleh Mukti.
2.      Rahn Hiyazi
Bentuk rahn  hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep gadai, baik dalam hukum  adat maupun dalam  hukum positif. Jadi berbeda dengan rahn iqar yang hanya menyerahkan  hak kepemilikan atas barang, maka pada rahn hiyazi tersebut barangnya pun dikuasai oleh kreditur. Contoh mukti memiliki utang kepada Ratna sebesar Rp. 10.000.000. Sebagai jaminan atas pelunasan utang tersebut, Mukti menyerahkan mobilnya kepada Ratna secara rahn hiyazi.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak. Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya. Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor.
Rahn dalam Bank Syariah juga biasanya digabungkan dengan Qard atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif  seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran, dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah. [15]


[1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012), h. 289.
[2] Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 108.
[3] Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 225.
[4] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), h. 209.
[5] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 76.
[6] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 159-160.
[7] A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 307.
[8] http://fatabiruuu89.blogspot.co.id/2011/06/gadai-syariah_27.html diakses pada hari Sabtu 27 Februari 2016 pada pukul 13.00 wib.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya (Jakarta: Kencana, 2014), h. 364-365.
[10]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2012), h. 290.
[11] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, h. 365- 366.
[12] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), h. 391.
[13] Gita Danupranata, Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah (Jakarta: Salemba Empat, 2013), h. 236.
[14] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama &Cendekiawan (t.t: Tazkia Institute, 1999), h. 215-216.
[15] Djoko Muljono, Buku Pintar Akuntansi Perbankan dan Keuangan Syariah (Yogyakarta: ANDI, 2015), h. 238-239.



Komentar

  1. Ini yang macam* gadai beneran ada dibuku pintar akutansi perbankan dan keuangani slam?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

pemeliharaan hubungan kerja

Sinopsis Film Inside Job

Makalah Akad-akad dalam Perbankan Syariah