Hukum Muamalah Uang Elektronik (E-Money)

Hukum Muamalah Uang Elektronik (E-Money).

Uang elektronik (e-money) pada dasarnya sama seperti uang biasa karena memiliki fungsi sebagai alat pembayaran atas transaksi jual beli barang. Dalam perspektif syariah hukum uang elektronik (e-money) adalah halal. Kehalalan ini berlandaskan kaidah;
1.  Setiap transaksi dalam muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya, maka saat itu hukumnya berubah menjadi haram. Oleh karena itu uang elektronik harus memenuhi kriteria dan ketentuan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. 
2.  Adanya tuntutan kebutuhan manusia akan uang elektronik, dan pertimbangan banyaknya kemaslahatan yang ada di dalamnya. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah kebijakan dan penghematan dalam menggunakannya, agar tidak boros & menyebabkan kerugian di lain hari.
Pada tanggal 28 Maret 2016, Atas izin dari Bank Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan sertifikat syariah pada produk uang elektronik syariah yang diakui oleh Dewan Syariah Nasional. Produk uang elekronik syariah pertama ini dinamakan True Money Witami. Uang Elektroik ini dikeluarkan oleh PT Witami Tunai Mandiri. Inovasi uang elektronik True Money Witami ini terlibat langsung dalam berbagai transaksi syariah. Transaksi ini diharapkan dapat mendorong pengembangan sektor ekonomi syariah yang mengelola dana-dana keagamaan secara lebih produktif dan profesional.
Prinsip-prinsip syariah dalam transaksi uang elektronik ialah:
1.   Tidak Mengandung Maysir (unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi). Penyelenggaraan uang elektronik harus didasarkan oleh adanya kebutuhan transaksi pembayaran retail yang menuntut transaksi secara lebih cepat dan efisien, tidak untuk transaksi yang mengandung maysir.
2.   Tidak Menimbulkan Riba yang berbentuk pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam dan pengalihan harta secara batil. Transaksi uang elektronik merupakan transaksi tukar-menukar/jual beli barang ribawi, yaitu antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik dalam bentuk Rupiah.
3.   Pertukaran antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik (e-money) harus sama jumlahnya (tamatsul) baik kualitas maupun kuantitasnya, jika tidak, maka tergolong ke dalam bentuk riba al-fadl (tambahan atas salah satu dua barang yang dipertukarkan dalam pertukaran barang Ribawi yang sejenis. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan pertukaran nilai uang tunai yang lebih kecil atau lebih besar dari nilai uang elektronik. Sebagai contoh penerbit tidak boleh menjual uang elektronik sebesar Rp 3.000.000,00 dengan penyetoran uang/dana dari pemegang kepada penerbit sebesar Rp 3.030.000,00 dan penerbit juga tidak boleh memberikan potongan harga atas penjualan uang elektronik (e-money), seperti uang elektronik dengan nilai uang elektronik sebesar Rp 3.000.000,00 dijual oleh penerbit melalui penyetoran uang/dana dari pemegang kepada penerbit sebesar Rp 2.970.000,00, kelebihan pembayaran oleh pemegang dan potongan harga oleh penerbit tersebut termasuk riba al-fadl.
4.   Pertukaran antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik harus dilakukan secara tunai (taqabudh), jika tidak, maka tergolong ke dalam bentuk riba al-nasiah (penundaan penyerahan salah satu dua barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis). Sebagai contoh pada saat pemegang atau pedagang menukarkan kembali (refund/redeem) nilai uang elektronik          (e-money) dengan nilai uang tunai kepada penerbit, maka penerbit harus memenuhi hak tagih tersebut dengan tepat waktu tanpa melakukan penangguhan pembayaran.
5.   Tidak mendorong Israf (pengeluaran yang berlebihan)
sebagaimana firman Allah SWT:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: “Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebih-lebihan (boros) karena Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Al-A’raf:31)[1].
Al-Quran dalam bidang perekonomian Islam mendorong pengikutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan baik materi maupun non materi[2]. Penggunaan uang elektronik (e-money) bertujuan agar masyarakat menggunakan uangnya sesuai dengan kebutuhan dan mencegah masyarakat untuk membelanjakan uangnya secara berlebih-lebihan.
 Uang elektronik pada dasarnya digunakan sebagai alat pembayaran ritail/mikro, agar terhindar dari Israf (pengeluaran yang berlebihan) dalam konsumsi dilakukan pembatasan jumlah nilai uang elektronik serta batas paling banyak total nilai transaksi uang elektronik (e-money) dalam periode tertentu.
6.   Tidak digunakan untuk transaksi objek haram dan maksiat. Uang elektronik (e-money) sebagai alat pembayaran dengan menggunakan prinsip Syariah, tidak boleh digunakan untuk pembayaran transaksi objek haram dan maksiat, yaitu barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.
Akad-akad syariah terkait uang elektronik (e-money).
1.      Akad Sharf
Uang elektronik (e-money) merupakan alat pembayaran yang diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit, kemudian nilai uang tersebut disimpan secara elektronik dalam suatu media uang elektronik yang digunakan sebagai alat pembayaran oleh pemegang kepada pedagang. Uang elektronik (e-money) tersebut dipersamakan dengan uang karena pada saat pemegang menggunakannya sebagai alat pembayaran kepada pedagang, bagi pedagang tersebut nilai uang elektronik berpindah dari media uang elektronik yang dimiliki oleh pemegang ke terminal penampungan nilai uang elektronik milik pedagang. Apapun satuan nilai dalam media uang elektronik tersebut, pada dasarnya berupa nilai uang yang pada waktunya akan ditukarkan kepada penerbit dalam bentuk uang tunai. Dengan dipersamakannya uang elektronik dengan uang, maka pertukaran antara nilai uang tunai dengan nilai uang elektronik merupakan pertukaran atau jual beli mata uang sejenis yang dalam literatur Fikih Muamalat dikenal dengan Al-Sharf. Dalam kajian Fikih Muamalah, jual beli uang (Sharf) termasuk dalam bab jual beli yang didasarkan pada Hadits tentang al-Sharf juga dijelaskan dalam Hadis Riwayat Al Jamaah yang berbunyi:
 اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ فَإِذَ اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Artinya: “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, ukurannya harus sama, dan harus dari tangan ke tangan (dilakukan dengan kontan). Jika jenis-jenisnya tidak sama, maka juallah sesuka kalian asalkan secara kontan[3]. (H.R Al Jamaah)
Secara umum jual beli mata uang (Sharf) diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dan emas dan perak dengan perak atau emas dengan perak. Dengan demikian, yang menjadi syarat-syarat dalam transaksi tukar menukar emas dengan emas dan perak dengan perak atau emas dengan perak tersebut berlaku juga dalam transaksi jual beli mata uang. Syarat-syarat tersebut adalah; tunai, jumlahnya sama, tidak boleh ada khiyar syarat, dan tidak boleh ditangguhkan. Relevansi akad Sharf dalam implementasi uang elektronik dapat dilihat pada syarat-syarat akad berikut ini : syarat akad tunai (Al-Taqabudh) Nilai uang elektronik yang berada di tangan pemegang sepenuhnya berada dalam kekuasaan pemegang. Dana float yang terkumpul di penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan dan sepenuhnya berada dalam penguasaan. syarat al-tamatsul (jumlahnya sama) Nilai satu Rupiah pada nilai uang elektronik harus sama dengan satu Rupiah pada uang tunai (cash).
Syarat tidak boleh ada khiyar syarat Dalam transaksi uang elektronik tidak terdapat khiyar syarat, pada saat transaksi dilakukan, ketika masing-masing pihak telah menunaikan kewajiban dan mendapatkan haknya, maka transaksi telah selesai. syarat tidak boleh ditangguhkan Pada saat proses penerbitan, ketika pihak pemegang menyetorkan uang, maka penerbit saat itu juga menyerahkan nilai uang elektronik kepada pemegang dan pada saat terjadi redeem baik oleh pemegang atau oleh pedagang, penerbit harus dapat menunaikannya secara tepat waktu. Akad-akad lain yang terkait dengan uang elektronik. Melihat dari relevansi tersebut di atas, maka jelaslah bahwa akad utama yang digunakan dalam penyelenggaraan uang elektronik adalah akad Sharf, yaitu tukar-menukar atau jual beli uang. Disamping al-shorf terdapat akad-akad lain yang terkait dengan transaksi uang elektronik, diantaranya adalah al-ijarah, dan wakalah.
2.      Akad Ijarah
Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Akad ijarah digunakan dalam hal terdapat transaksi sewa menyewa atas perlengkapan/peralatan dan atau terdapat pelayanan jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik.
3.      Akad Wakalah
Wakalah adalah pemberian kuasa kepada orang lain untuk bertindak sebagai pemberi kuasa dalam transaksi yang diperbolehkan dan diketahui. Akad Wakalah digunakan dalam hal penerbit bekerjasama dengan pihak lain sebagai agen penerbit dan/atau terdapat bentuk  perwakilan lain dalam transaksi uang elektronik[4].




[1] Yayasan Penyenggara Penerjemah Al-Quran, Al-Mujib Edisi Asmaul Husna dan Doa, (Al-Mizan Publising House: Bandung, 2011) hlm. 155
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (2009), hlml 46.
[3] H.R Al-Jamaah
[4] AA Amarudin Muntaz, http://www.kompasiana.com/mumtazamin/uang-elektronik-dalam-perspektif-syariah_5580ffd1e022bd03320e7771(17 Juni 2015)

Komentar

  1. disini tidak menjelaskan konsep jaminan terhadap emoney. mungkin bisa menjadi tambahan dalam pembahasan. terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

pemeliharaan hubungan kerja

Sinopsis Film Inside Job

Gadai Syariah (Rahn)